Antara Perancis Tengah – Solo – Denmark Selatan

WhatsApp Image 2017-06-21 at 15.51.44

Holaaaa…

Akhirnya bisa juga memaksa diri untuk menulis lagi di blog. Ada banyak peristiwa yang terjadi selama kurun waktu lebih dari 1 tahun saya berhibernasi.  Pengennya sih semua  saya ceritain, tapi kayaknya lebih afdol kalo saya bikin bersambung aja yaa

Nah, sekarang saya mau cerita dulu tentang judul postingan kali ini. Ada apa sih antara Perancis Tengah – Solo – Denmark Selatan? Jadi ini adalah kisah perjalanan keluarga kami selama kurang lebih setahun ini. Bulan Januari tahun 2016 sepulang dari liburan di Indo akhir tahun 2015, ternyata suami saya iseng-iseng ngelamar lowongan kerja yang ditemukannya di internet. Nggak tanggung-tanggung lokasinya di Indonesia. Awalnya sih iseng, eh ternyata malah diterima. Setelah diskusi cukup lama kami pun memutuskan untuk boyongan pindah ke Indonesia. Kami memilih tinggal di Solo supaya bisa dekat dengan keluarga.

Saya yang sedang hamil 5 bulan waktu itu sebenarnya agak galau juga. Masalahnya di Perancis bisa dibilang kehidupan kami sudah lumayan stabil. Pendapatan suami sudah tetap, saya pun sudah punya SIM dan ijazah formal yang bisa dipakai sebagai modal untuk mencari kerja nantinya. Apalagi sistem kesehatan yang bagus banget, hampir semua ditanggung pemerintah dan kalaupun banyak hanya sedikit banget. Belum lagi nantinya bisa dapat tunjangan anak yang nominalnya juga lumayan banget. Sayang kan ya sudah bertahun-tahun bayar pajak tapi nggak bisa dapat manfaatnya untuk lahiran dan tunjangan anak.

Tapi di sisi lain, pekerjaan yang di Indonesia ini juga menarik. Selain bisa sebagai batu loncatan untuk karir suami, bisa berada dekat dengan keluarga saya juga sesuatu yang tidak bisa digantikan dengan uang. Belum lagi suami yang udah pengen banget dari dulu buat nyobain hidup di Indo. Biasanya kan cuma buat liburan, itupun hanya maksimal sebulan aja.

Singkat cerita, setelah melewati proses pindahan yang lumayan bikin stres kamipun memulai hidup baru di Solo. Awalnya kami tinggal di apartemen selama sebulan, tapi kemudian pindah ke rumah kontrakan yang berada di kompleks perumahan. Bulan September tanggal 25, saya pun melahirkan di sebuah rumah sakit swasta di kota Solo.

Jujur, masih agak menyesal meninggalkan Perancis. Biaya lahiran di Solo sudah mahal, belum lagi perlengkapan bayi juga butuh dana yang tidak sedikit. Masih kebayang-bayang deh kalo misalnya dapat tunjangan anak di Perancis pasti bisa lebih tenang belanja segala keperluan si kecil. Belum lagi pekerjaan suami yang membutuhkan traveling. Sering saya harus berjibaku mengurus bayi sendirian tanpa asisten sama sekali kalau suami harus dinas luar kota. Waktunya bisa dari 3 hari sampai 2 minggu. Bahkan ketika si bayi baru berumur 1 minggu, sudah ditinggal suami kerja selama 10 hari.

Tapi yang namanya sudah memilih yang harus berani menerima konsekuensinya. Dan dari awal saya juga sudah paham resiko ditinggal-tinggal seperti ini. Lama-lama ternyata jadi terbiasa juga kok, apalagi sejak Bumi umur 2 bulan saya dapat ART yang datang seminggu 3 kali buat bantu bersih-bersih dan gosok baju. Lumayan lah saya bisa fokus ngurus bayi tanpa harus pusing mikir soal kerjaan rumah yang notabene emang bukan favorit saya hehehe

Sampai akhirnya sekitar akhir April kemarin, suami dapat pemberitahuan kalau kontrak kerjanya tidak diperpanjang. Jadi ceritanya, bos suami meninggal dunia mendadak karena serangan jantung. Perusahaan kemudian diambil alih oleh anaknya. Dan tanpa ada diskusi apa-apa tiba-tiba aja diputus kontrak kerjanya. padahal bulan Mei itu jadwalnya suami diskusi dengan bosnya untuk masalah kenaikan gaji, jatah liburan ke Denmark untuk summer holiday dll. Sempat shock sih karena nggak nyangka kalau kejadiannya malah seperti itu.

Akhirnya kami pun memutuskan bahwa inilah saatnya untuk kembali ke Eropa, tepatnya ke Denmark. Pertimbangannya adalah lapangan kerja terbuka lebih lebar dan lebih sesuai dengan profil suami. Kamipun juga bisa lebih dekat dengan keluarga suami. Keputusan sudah diambil, kamipun mempersiapkan semuanya dalam waktu kurang dari sebulan.

Bisa dibayangin ya stresnya kayak apa, super deh pokoknya. Barang-barang yang dikumpulin selama setahun harus dipacking dalam 2 koper besar, 2 koper kecil dan 1 box ukuran 29 kg untuk dikirim via pos. Belum lagi harus menjual mobil dan barang-barang lain yang ukurannya terlalu besar untuk dititipkan ke keluarga. Untungnya semua bisa beres sebelum kami harus berangkat ke Denmark. Yang paling susah sih harus meninggalkan keluarga di Indo lagi untuk waktu yang belum pasti. Semoga bisa secepatnya menabung, biar bisa secepatnya mudik lagi dan bertemu dengan keluarga. Aminn.

Jadiii itulah kenapa postingan kali ini saya kasih judul nan panjang seperti di atas. Karena memang begitulah perjalanannya, dari merantau di Perancis Tengah kemudian pulang kandang ke Solo dan sekarang gantian pulang kandangnya ke Denmark Selatan 😀

Update

Sudah berbulan-bulan nggak ngeblog rasanya kangen juga ya. Saya sebenarnya udah lama pengen nulis lagi di blog tapi entah mengapa kok rasanya susah banget buat memulai. Padahal ide buat menulis ada banyak banget sampai menuh-menuhin kepala. Tapi memang sejak saya mengikuti pendidikan bulan mei tahun kemarin, waktu saya sudah sangat tersita buat sekolah. Setiap hari saya harus berjibaku untuk bisa tiba di sekolah tepat waktu. Maklum ya, jarak yang harus saya tempuh kurang lebih 100 km pp. Setiap pagi saya sudah harus berangkat paling tidak jam 7.15, kalau lebih dari itu sudah pasti saya akan telat. Belum lagi begitu memasuki musim gugur kemudian musim dingin, cuaca semakin tidak bersahabat. Sering saya harus nekat menembut pekatnya pagi yang sangat berkabut, atau kadang berjuang menembus jalanan yang diguyur hujan ataupun salju. Untungnya sih meskipun terasa cukup berat, pendidikan itu berhasil juga saya selesaikan. Pertengahan bulan Desember 2015 kemarin saya menempuh ujian nasional untuk mendapatkan titel profesional, dan bersyukur saya lulus dengan komentar yang sangat memuaskan.

Tidak cukup hanya berhasil mendapat titel setelah berjuang selama beberapa bulan, sehari setelah ujian akhir saya dan suami langsung berangkat liburan akhir tahun ke Indonesia. Pokoknya bener-bener kado akhir tahun yang tidak ada bandingannya deh. Apalagi waktu itu kami dapat kesempatan untuk mencoba penerbangan kelas bisnis dari maskapai nasional kebanggaan Indonesia yaitu Garuda Indonesia. Sebenarnya awalnya sih tidak ada rencana untuk bepergian dengan kelas bisnis, tapi sewaktu mengecek harga tiket sebulan sebelumnya, kami melihat bahwa harga kelas ekonomi dan bisnis terpaut tidak terlalu jauh. Biasanya kan kelas bisnis harganya paling tidak dua kali lipat harga kelas ekonomi atau bahkan bisa lebih. dan waktu itu kami lihat ternyata selisihnya tidak banyak dan mengingat lamanya perjalanan maka kamipun sepakat untuk membeli tiket kelas bisnis. Keputusan yang sama sekali tidak kami sesali, bahkan bikin pengen lagi untuk bepergian dengan kelas bisnis. Tapi sepertinya harus banyak-banyak menabung lagi dulu ya karena beberapa kali saya iseng mengecek, saya tidak menemukan lagi harga semenarik yang dulu.

Kami tinggal di Indonesia sekitar kurang lebih 3 minggu. Cukup lama sebenarnya, tapi nggak tahu kenapa bagi saya rasanya masih terlalu singkat. mungkin memang dasarnya saya yang lapar mata pengen jajan macam-macam tapi belum semua kesampaian kali ya hehehe… Apalagi kebetulan juga ada beberapa agenda kunjung mengunjungi yang harus kami tepati sehingga meskipun liburan saya waktu itu juga harus memilah-milah waktu supaya bisa menyusun kegiatan yang sesuai. Dan hasilnya bisa ditebak, saya sampai di Indonesia langsung tepar, karena perjalanan yang memakan waktu belasan jam plus kondisi saya yang kecapekan setelah ujian final. Selama di Indonesia pun saya juga sempat jatuh sakit karena nggak tahan panas. Duh, manja banget ya, baru juga 2 tahun nggak mudik kena panas dikit langsung sakit 😀

Balik ke Perancis langsung disambut salju. Duh, beneran langsung terkaget-kaget deh ini body. Dari yang dingin ke panas, yang panas banget ke dingin menggigit. Jadi waktu itu ketika masih di mobil dalam perjalanan ke rumah dari stasiun kereta, kebetulan ada tetangga yang baik hati mau menjemput kami, tiba-tiba saja turun salju. Ya sudah, alamat saya pun harus rela menggigil kedinginan begitu sampai di rumah. Maklum lah pemanas di rumah butuh waktu buat bekerja, dan perapian juga belum bisa langsung berfungsi dengan baik karena nggak dipakai selama hampir sebulan. Dan bisa ditebak lagi-lagi saya sakit, lemes dan muntah-muntah nggak karuan. menderita banget deh pokoknya.

Eh tapi setelah iseng-iseng dicek, sakitnya saya ternyata karena saya hamil! Hahaha meskipun sebenarnya memang direncanakan, tetep sempat kaget juga karena cepet banget. Nggak nyangka aja begitu bilang : let’s have a baby … dan boom! beberapa minggu kemudian saya pun langsung hamil. Mungkin efek kebanyakan makan toge ya jadinya langsung tokcer  hahaha…

Jadi, akhirnya selama hampir 3 bulan sekembalinya dari Indo, sayapun nggak bisa terlalu banyak ngapa-ngapain karena benar-benar teler. Bahkan ada tawaran kerja buat ngegantiin orang yang cuti hamil pun terpaksa saya lewatkan. Sayang sih, tapi tetep lebih sayang kalau saya nggak jaga diri buat si baby, kan rejeki juga ini. Terlebih kondisi saya yang sangat tidak fit sama sekali tidak mendukung buat bisa bekerja. Mungkin karena faktor usia juga ya, namanya juga udah masuk pertengahan kepala tiga…

So, gitu deh yang bisa saya ceritain kali ini. Pengennya sih nanti bisa lebih banyak nulis juga. Selain untuk mengisi waktu, saya juga pengen update resep masakan yang sudah saya coba biar nanti kalau mau bikin lagi nggak perlu repot nyariin sumber resepnya. Terus pengen cerita-cerita lebih banyak tentang kehamilan juga deh. Semoga bisa konsisten ya nantinya, mohon doanya ya hehehe…

Pendidikan Profesional Gratis di Perancis

Sudah lumayan lama nih nggak nulis di blog, ngapain aja? Sebenarnya sih nggak terlalu sibuk-sibuk banget, tapi seperti biasanya saya memang sok sibuk ngurusin ini itu hehehe… Saking sok sibuknya, jadi nggak berasa ya kalau sekarang udah masuk ke pertengahan bulan April 2015. Dan sepertinya memang tahun 2015 adalah tahun keberuntungan buat saya karena sejauh ini semua berjalan sesuai rencana. Akhir tahun 2014 kemarin target saya adalah mendapatkan SIM setelah hampir 1,5 tahun menjalani semua prosesnya yang tidak mudah. Syukur alhamdulillah, saya akhirnya lulus ujian dan mendapatkan SIM meskipun harus mengulang beberapa kali. Target lainnya adalah mengikuti ujian bahasa Perancis di level yang lebih tinggi, dan setelah mengikuti kursus di Université de Limoges, pada bulan Januari kemarin saya berhasil mengikuti ujian DELF B2 dan hasilnya adalah saya lulus. Keberuntungan saya tidak berhenti di situ saja karena pada akhir tahun kemarin juga saya mengajukan permohonan untuk mendapatkan pendidikan profesional gratis dari kantor tenaga kerja, Pôle Emploi (PE) setelah sebelumnya permohonan saya menthok di permasalahan bahasa Perancis saya yang masih belum cukup level. Tanpa diduga ternyata permohonan saya mendapat respon positif dan bahkan minggu depan saya sudah mulai bisa mengikuti pendidikan (di sini biasa disebut formation) profesional di bidang sekretaris administrasi. Wuih, bener-bener deh sepertinya memang dewi fortuna lagi demen banget sama saya, nemplok terus sejak awal tahun hehehe…

Jadi pengen cerita nih soal proses untuk mendapatkan pendidikan gratis di Perancis, siapa tahu ya kali aja bisa berguna atau paling tidak bisa jadi catatan pribadi saya juga. Sejak awal saya sadar dengan bekal pendidikan dan pengalaman kerja yang saya dapat di Indonesia tidak cukup untuk mencari kerja sesuai dengan minat dan keinginan saya di sini karena penerapan sistem yang berbeda. Saya sih maunya bisa bekerja di bidang sekretariat atau administrasi seperti yang sudah saya lakukan di Indonesia dulu, tapi setiap kali saya mencoba mencari lowongan kerja di sini selalu saja terbentur pada masalah diplôme (ijasah) dan pengalaman kerja. Seperti pekerjaan yang saya lakonin tahun lalu, meskipun cuma sebagai tenaga bersih-bersih dibutuhkan juga kompetensi pengalaman kerja untuk melamar, kebetulan saja waktu itu yang dibutuhkan adalah sekedar tenaga pengganti dan suami saya kenal dengan pimpinan instansinya jadi saya bisa kerja tanpa proses yang sulit. Kembali ke masalah pendidikan profesional, saya pun mulai menyusun strategi supaya kelak saya bisa laku di pasar kerja Perancis yaitu dengan cara membekali diri saya dengan pendidikan yang diakui di Perancis.

Awal saya mendaftar di PE saya sudah dengan pedenya minta pendidikan profesional gratis. Alhasil diketawain lah saya waktu itu, wong bahasanya aja masih gagu kok minta pendidikan, mungkin gitu kali ya yang ada di pikiran conseiller saya waktu itu. Tapi saya tidak patah semangat, saya bilang kalau memang level bahasa saya belum cukup, ya saya minta dikasih formation bahasa dulu aja. Untungnya untuk yang ini saya nggak diketawain, saya kemudian diarahkan buat mendapatkan kursus bahasa Perancis lanjutan yang disebut Pass Linguistique. Inilah kursus bahasa Perancis yang saya ikuti 2x seminggu selama ini. Merasa bahwa kursus yang hanya 5,5 jam per minggu ini masih belum cukup, sayapun atas dorongan (dan biaya :D) dari suami mengambil 1 semester kursus Français Langue Etrangerè (FLE) di Université de Limoges. Tujuan saya sih jelas ya, supaya kemampuan bahasa saya bisa terdorong dengan lebih optimal. Maklum saja kalau di rumah saya merasa kesulitan untuk mempraktekkan  bahasa Perancis dengan suami karena bahasa Perancis adalah sama-sama bahasa asing kedua kami. Daripada sama-sama sakit kepala kamipun memilih untuk tetap berkomunikasi dengan bahasa Inggris saja yang terasa lebih nyaman buat kami. Dan kursus FLE ini ternyata memang sangat bermanfaat, saya pun merasakan kemajuan yang signifikan dalam kemampuan berbahasa saya.

Setelah pede bahwa kemampuan bahasa saya sudah lebih baik, saya pun kembali ke PE buat lagi-lagi minta pendidikan profesional gratis. Kali ini respon yang saya dapat cukup bagus. Setelah bertemu dengan konsultan PE saya pun direkomendasikan buat bertemu dengan Psychologue du Travail (PT), petugas yang khusus berurusan dengan pendidikan gratis. Hasil wawancara dengan PT adalah ada satu formation yang sesuai dengan minat saya, yang saat itu sedang membuka pendaftaran, yaitu formation Assistant de Direction atau sebutan umumnya Personal Assistant (PA). Saya kemudian diminta mengikuti serangkaian tes yang terdiri dari tes logika, matematika dan bahasa Perancis untuk melihat apakah saya memiliki kemampuan sesuai yang dibutuhkan untuk mengikuti formation tersebut. Di Perancis, formation professionnel ini dibagi dalam 5 level (niveau), dimana niveau I adalah level tertinggi. Sebelum bisa mengikuti formation, kandidat harus lulus ujian yang disesuaikan dengan level formation yang akan diikuti.  Fomation yang saya ikuti adalah niveau III.  Saya pun kemudian mengikuti tes di PE yang berdurasi kurang lebih 3 jam. Tesnya cukup sulit karena jumlahnya banyak (saya lupa jumlah pastinya tapi yang jelas lebih dari 100 soal) dan tentu saja semuanya dalam bahasa Perancis. Saya juga diminta untuk mengisi semacam kuesioner tentang motivasi saya mengikuti formation. Begitu selesai, pekerjaan saya langsung dikoreksi oleh PT dan saya diberitahu saat itu juga hasilnya. Untuk tes logika dan matematika hasilnya cukup bagus, sesuai dengan level yang dibutuhkan. Sementara untuk bahasa Perancis hasilnya masih agak di bawah level, meskipun poinnya cuma selisih sedikit. Sudah melangkah sejauh ini saya pun berusaha meyakinkan PT bahwa saya memiliki motivasi tinggi untuk belajar dan akan bekerja keras supaya bisa berhasil. Sepertinya argumen saya berhasil, PT bilang akan menghubungi guru bahasa Perancis saya dulu untuk berdiskusi kemudian akan menginformasikan kepada saya keputusannya. Seminggu kemudian saya mendapat surat yang menyatakan bahwa saya sudah dimasukkan ke pendaftaran awal formation di L’Association national pour la formation professionnelle des adultes (AFPA), sebuah organisasi penyedia pendidikan profesional untuk orang dewasa. Tahap selanjutnya adalah saya harus menunggu panggilan dari AFPA untuk menjalani serangkain tes berikutnya.

Setelah harap-harap cemas menunggu, hampir 3 bulan setelah mendapat keputusan dari PE saya pun menerima surat dari AFPA yang isinya saya diminta datang tanggal 18 Mei 2015 untuk memulai formation. Di sini lah saya mulai bingung campur senang, karena kalau saya langsung mulai formation berarti nggak perlu ikut tes lagi dong. Kalau nggak harus ikut tes lagi bahagia banget lah soalnya info yang saya dapat dari PE, sebelum bisa ikut formation saya harus melalui tes kemampuan komputer, pengetahuan dasar sekretaris dan tes bahasa Inggris. Untuk tes bahasa Inggris sih saya sudah pede aja, tapi 2 tes yang lain itu yang bikin saya was-was karena sama sekali nggak ada gambaran gimana tesnya nanti. Tapi ternyata saya salah, karena beberapa hari kemudian saya dapat telpon dari AFPA yang meminta saya datang untuk mengkuti tes seleksi. Duh, langsung deh panas dingin karena merasa belum siap dan bener-bener nervous…

Tahap selanjutnya pun dimulai, saya mengikuti tes di AFPA tanggal 16 April 2015. Durasi tes kali ini lebih lama dari di PE, saya mulai jam 9 pagi dan selesai sekitar jam 1 siang. Petugas yang memberikan tes adalah orang yang sama yang nantinya akan mengajar, di sini biasa disebut formateur (pria) dan formatrice (wanita). Formatrice yang memberikan tes cukup ramah, beliau sangat informatif dalam menjelaskan semua prosedur dan gambaran umum tentang formation Assistant de Direction. Setelah itu masing-masing peserta menghadap satu komputer sendiri-sendiri dan harus mengerjakan soal-soal yang sudah disiapkan di komputer tersebut. Waktu itu hanya ada 4 peserta termasuk saya. Kami harus menjawab sekitar lebih dari 100 pertanyaan pilihan ganda dan ada 2 soal yang berhubungan dengan Excel dan MS. Word. Setelah selesai, kami diwawancara satu per satu di kantor madame formatrice.

Jujur ya, saat itu saya sudah mulai hilang harapan. Buat saya soal-soalnya cukup susah karena beberapa bagian berupa pengetahuan umum ekonomi Perancis serta sistem bekerja di Perancis. Meskipun untuk tes bahasa Inggris tidak ada masalah, tapi saya merasa kesempatan saya untuk lolos seleksi adalah kecil. Begitu masuk ke ruangan wawancara, madame formatrice membuka pekerjaan saya dan menunjukkan hasilnya. Secara umum beliau langsung bisa melihat bahwa kemampuan bahasa Perancis saya masih belum mencukupi. Lumayan banyak pertanyaan yang tidak bisa saya jawab yang berhubungan dengan pengetahuan umum ekonomi Perancis serta sistem bekerja di Perancis . Tapi untungnya level bahasa Inggris saya cukup bagus, dan madame yang baik hati ini kemudian malah mengajak saya untuk bicara dalam bahasa Inggris karena ternyata beliau ini adalah WN Inggris (saya sih sudah menduga dari awal karena nama beliau yang inggris banget hihihi). Wah, saya yang tadinya bener-bener tegang jadi mulai agak rileks. Kami berdiskusi cukup lama, saya jelaskan ke beliau situasi saya (bahasa Perancis adalah bahasa asing kedua, saya tinggal di tempat yang jauh dari pemukiman yang membuat saya jarang berkomunikasi dengan bahasa Perancis, dll) dan berusaha meyakinkannya bahwa saya memiliki motivasi yang tinggi untuk mengkuti formation ini. Beliau sepertinya cukup paham dan bilang akan berusaha mencarikan solusi buat saya. Idenya adalah saya harus mengikuti formation bahasa Perancis yang intesif, lebih daripada peserta lainnya tapi tidak perlu mengikuti formation bahasa Inggris karena level saya lebih dari cukup. Namun beliau belum bisa memberi keputusan saat itu juga karena harus berdiskusi terlebih dulu dengan koleganya. Meskipun cukup lega karena beliau mau berusaha mencarikan solusi buat saya supaya bisa mengkuti formation, saya tetap merasa was-was dalam hati. Bagaimana pun juga kalau belum ada surat resmi yang menyatakan bahwa saya bisa ikut formation, tentunya masih banyak kemungkinan lain yang bisa terjadi kan…

Setelah menunggu sekitar 2 hari saya dapat email dari madame formatrice yang  memberitahukan bahwa beliau akan menyiapkan formation khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan saya. Jadi seperti yang sudah beliau bilang sebelumnya, tidak ada formation bahasa Inggris tetapi lebih banyak formation bahasa Perancis. Saya pun langsung balas emailnya dengan BIG YES! Pokoknya kesempatan harus diambil, karena belum tentu datang 2 kali 🙂

Akhirnya 2 minggu yang lalu saya menerima dokumen-dokumen yang berhubungan dengan formation yang harus saya isi, dan kemudian dikirim balik. Duh, senangnya… Lega deh saya akhirnya positif bisa mulai proses pendidikan gratis ini. Oh iya, selain pendidikan ini gratis, saya nantinya juga akan menerima remuneration. Besarannya sih saya belum tahu pasti, tapi yang jelas lumayan lah buat uang saku sama buat ongkos jalan. Jadi lumayan banget kan, dapat pendidikan gratis, dibayar pula hehehe…

Ok, saya mau bikin kesimpulan sedikit nih tips untuk mendapatkan formation professionnelle ini.

  1. Harus aktif. Hubungi PE setempat, diskusikan dengan conseiller PE tentang kemungkinan mendapatkan formation professionnelle. Bila masih ada kendala dalam bahasa Perancis mintalah formation linguistique. Kalau kita tidak berusaha proaktif, PE biasanya juga nggak mau bersusah payah mencarikan.
  2. Kalau perlu ambil juga kursus bahasa dengan biaya sendiri, untuk menunjukkan ke PE bahwa kita serius mau berusaha.
  3. Cari juga informasi di internet tentang formation yang diminati, bisa lihat di situs AFPA juga. Konsultasikan ke PE apakah memungkinan untuk mendapatkan formation tersebut.
  4. Bila formation tersedia,dan PE menyetujui, tahap berikutnya adalah mengikuti tes (logika, matematika dan bahasa Perancis) di PE dan rangkaian tes masuk lainnya sesuai dengan organisasi yang bersangkutan. Ketika wawancara coba yakinkan PE (atau organisasi pewawancara lainnya) bahwa kita adalah kandidat yang tepat untuk formation ini , namun harus tetap jujur sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.
  5. Perdalam pengetahuan umum di bidang yang kita minati supaya lebih pede menghadapi tes.

Well, kayaknya itu saja ya yang tips yang bisa saya rangkum. Intinya sih kita emang harus berusaha keras dan proaktif supaya bisa mencapai tujuan. Dan yang tidak boleh dilupakan adalah faktor keberuntungan, jadi kalau sempat gagal dalam satu usaha jangan langsung menyerah. Upgrade kemampuan dan coba lagi, siapa tahu kemudian beruntung, seperti saya 😉

 

 

 

 

Nostalgia Lapis Singkong

IMG_5716

Bikin lapis singkong ini sebenarnya udah lama. Gara-garanya saya gelap mata waktu lihat ada singkong segar yang dijual di supermarket. Dulu pas awal-awal tinggal di sini saya sempat beli singkong juga tapi dalam bentuk beku yang dijual di toko asia. Meskipun tetap bisa diolah, tapi produk beku dengan produk segar pasti beda ya rasanya jadi saya nggak pernah beli lagi. Sampai saya tahu tentang Grand Frais, sebuah supermarket bahan-bahan makanan segar yang langsung jadi favorit saya. Saya cukup sering belanja ke Grand Frais ini.  Selain karena kualitas produknya yang oke, variasinya juga banyak. Hampir beragam jenis sayur mayur dan buah-buahan dari berbagai belahan dunia tersedia di sini. Well, mungkin tidak semua ya tapi yang jelas saya sering banget menemukan produk-produk asia yang bikin saya serasa menemukan harta karun. Misalnya saat saya lihat mereka menjual kangkung, langsung deh seikat besar masuk kantong belanjaan. Atau labu siam yang harganya mahal, tetap sesekali juga saya beli. Selain itu cabe, lengkuas, sereh dan santan kaleng biasanya juga selalu tersedia. Bahkan bukan hanya sekali atau dua kali saya lihat mereka juga menyediakan buah-buahan dari asia seperti rambutan, manggis, sirsak atau kelengkeng. Bahkan pernah pula ada durian utuh dijual di sana! Tapi saya sih nggak pernah beli soalnya mahal banget. Maklum ya, ongkos kirimnya juga pasti mahal banget jadi wajar saja kalau harganya di sini jadi selangit. Anyway, balik lagi ke soal singkong,  akhirnya begitu saya melihat Grand Frais menjual singkong segar langsung deh saya bungkus sekilo tanpa ada rencana sama sekali mau dibuat apa 😀

Biasanya cara mengolah singkong paling gampang adalah digoreng atau sekedar dikukus sama daun salam. Saya ingat banget dulu almarhumah ibu saya biasa ngukus singkong buat sarapan atau sekedar cemilan orang serumah. Sejak kecil memang saya doyan banget nih sama yang namanya singkong, mau diolah apa saja pasti saya lahap. Mikir-mikir singkong sekilo saya mau dibikin apa, akhirnya saya browsing-browsing buat nyari ide selain cuma digoreng atau dikukus. Sampailah saya di blog dapurnya mba Diah Didi yang keren banget. Lihat penampakan lapis singkongnya yang cantik menggiurkan bikin saya kepengen. Lagi-lagi jadi ingat dulu kalau  ke pasar pasti salah satu agenda saya mampir ke bakul jajan pasar buat beli macam-macam penganan, salah satunya ya si lapis singkong ini. Rasanya yang gurih manis dengan sensasi kenyal sewaktu digigit, bikin nagih dan biasanya sepotong saja pasti nggak cukup buat saya hehehe…

Ok, setelah baca bahan dan cara membuatnya yang nggak ribet, saya pun memutuskan buat bikin lapis singkong karena kebetulan saya masih punya stok bubuk agar-agar di pantry.  Selain itu sekalian buat nostalgia soalnya udah lama banget juga saya nggak makan penganan yang satu ini. Seperti biasa resepnya saya modifikasi lagi sesuai dengan isi dapur, kali ini saya pakai 3 bungkus agar-agar buat ngabisin stok sebelum pada keburu kadaluarsa. Hasilnya jadi lebih kenyal dan belum bisa secantik bikinannya mba Diah Didi, tapi tetep enak kok sesuai dengan selera lidah saya 😉

Saya share di sini ya resep lapis singkong yang sudah saya modifikasi. Kalau mau lihat resep aslinya bisa langsung ke sini. Makasih banyak ya mba Diah udah boleh dishare resepnya 🙂

IMG_5697

Lapis Singkong

Bahan :

1 kg singkong, kupas kemudian parut                                                                             1 bungkus agar-agar merah                                                                                                 1 bungkus agar-agar putih                                                                                                   1 bungkus agar-agar hijau                                                                                                 250 ml santan                                                                                                                       200 gr gula pasir                                                                                                                       ½ sdt garam                                                                                                                             1 sdt gula vanili                                                                                                                 Kelapa parut secukupnya

 

Cara membuat:

  1. Campur singkong parut dengan santan, gula pasir, garam dan gula vanili.
  2. Bagi menjadi tiga bagian, kemudian tambahkan 1 bungkus agar-agar ke masing-masing bagian.
  3. Tambahkan pewarna kuning pada bagian yang dicampur agar-agar putih. Tambahkan juga sedikit pewarna merah dan hijau ke bagian yang lain.
  4. Kukus dalam loyang yang sudah dialasi plastik tebal, masing-masing 15 menit 2 lapisan pertama, dan 20 menit untuk lapisan terakhir.
  5. Potong-potong setelah dingin. Bisa disajikan begitu saja atau dengan dilapisi kelapa parut (kelapa kering dicampur dengan sedikit santan kemudian dikukus sebentar, bisa ditambah sedikit gula vanili biar lebih wangi).

 

IMG_6650

Sebagai penggemar bakso, dalam sebulan bisa dipastikan sekali saya bikin bakso. Dulu sih nggak kepikiran ya buat bikin bakso sendiri, lha warung bakso bertebaran di mana-mana. Contohnya di sekitar rumah bapak saya ada lebih dari 5 warung bakso, belum lagi tukang bakso keliling. Selain harganya yang murah meriah dan gampang didapat, cita rasa bakso yang segar menjadikan makanan yang satu ini favorit banyak orang. Suami saya dulu mana kenal bakso, tapi begitu sekali saya ajak ngebakso di warung bakso favorit saya di Solo langsung deh dia ketagihan. Sekarang ngebakso ke warung bakso Alex di Solo jadi agenda rutin kami setiap kali ada kesempatan mudik ke Indonesia 😀

Balik lagi ke masalah bikin bakso, awalnya saya hanya sekedar bikin kuahnya saja karena waktu itu menurut saya bikin pentol bakso itu susah, ribet dan lama. Apalagi  saya lihat ada dijual di supermarket. Tapi lama kelamaan nggak puas juga kalo pake bakso beli jadi, selain produknya adalah produk beku ketika dimasak nggak bisa bulat utuh tapi agak gepeng bentuknya. Karena penasaran dengan bakso homemade saya pun iseng mencoba bikin. Ternyata memang tidak sesulit yang saya bayangkan, asal kita mau sabar dan telaten. Memang sih dari segi bentuknya saya masih harus banyak belajar karena  bakso bikinan saya belum bisa terlalu mulus, ukurannya pun belum benar-benar seragam. Tapi kalo dari segi rasa dan kekenyalannya sudah pas banget dengan selera kami berdua. Keuntungan lain dari bikin bakso sendiri adalah bisa distok untuk keperluan memasak yang lain, misalnya saja buat campuran nasi goreng, bakmi goreng atau capcay. Yang jelas sih kita juga lebih yakin ya dengan kandungan bahannya, tanpa harus khawatir tentang bahan pengawet atau halal tidaknya.

Resep asli homemade bakso ini ada di sini , saya pakai resep bakso solo dan seperti biasa resepnya juga saya modifikasi lagi sesuai selera 😀

 IMG_6643

Homemade bakso

Bahan:

1 kg daging sapi giling
9 sdm tepung tapioka
10 siung bawang putih, dihaluskan
3 putih telur
3 sdt baking powder
3 sdt garam  (usahakan pakai yang kasar)
1 buah kaldu blok atau kaldu bubuk secukupnya
merica bubuk secukupnya
pala bubuk secukupnya
air es atau es batu serut secukupnya

Cara membuat:

Campur daging sapi dengan garam dalam food processor atau blender sampai halus.

Masukkan bumbu-bumbu lain kecuali es batu.

Proses lagi sampai rata, tambahkan es batu sedikit demi sedikit. Ulangi beberapa kali sampai dihasilkan adonan yang halus dan lembut.

Didihkan air yang cukup banyak dalam panci besar kemudian matikan api.

Bentuk adonan menjadi bulatan-bulatan bakso dengan cara mengepalkan tangan sampai adonan keluar dengan halus diantara jari telunjuk dan ibu jari. Ambil menggunakan sendok yang sudah dibasahi dengan air kemudian masukkan ke dalam panci yang berisi air hangat.

Lakukan sampai adonan habis, kemudian rebus bulatan bakso sampai matang.

Kuah bakso

Bahan:

Tulang sapi (kalau bisa gunakan tulang bagian kaki)
5 siung bawang putih dihaluskan
3 liter air
Daun bawang
Seledri
Garam dan merica bubuk secukupnya
Minyak goreng untuk menumis

Cara Membuat:

Rebus tulang dan air dengan api kecil selama kurang lebih 5 jam. Bila ingin lebih cepat, bisa menggunakan panci pressure cooker (sekitar 45 menit – 1 jam).
Tumis bawang putih  sampai harum,  kemudian masukkan ke dalam air rebusan tulang sapi.  Masukkan  ikatan  seledri dan daun bawang serta bulatan bakso.
Tambahkan garam dan merica bubuk, icipi sesuaikan dengan selera.

IMG_6645

Untuk penyajiannya bisa diseuaikan dengan selera juga. Saya biasanya hanya tambahin bihun yang sudah diseduh dengan air hangat, irisan daun seledri, bawang goreng dan sambal rawit rebus yang diseduh dengan kuah bakso. Kadang saya tambahin sawi hijau rebus juga kalau pas lagi punya. Oh iya kali ini juga saya tambahin tahu goreng biar tambah kenyang. Mmmm….yummy…ngebakso dulu yukkkk! 😀

Telur Asin Rumahan (Telur Bebek)

Telur asin rumahan, gurih dan kuning telurnya berminyak.

Telur asin rumahan, gurih dan kuning telurnya masir dan berminyak.

Saya adalah penggemar berat telur asin. Dulu sewaktu masih tinggal di Indonesia, saya paling suka nyomot telur asin ini buat tambahan lauk kalau pas beli nasi bungkus di warteg. Kadang memang buat lauk tapi nggak jarang juga saya gadoin gitu aja si telur asin, apalagi kalau pas dapet yang tidak terlalu asin dengan kuning telur yang masir gurih….mmm gadoin satu juga nggak bakalan cukup deh buat saya 😀

Semenjak tinggal di sini, tentu saja saya jadi kesulitan buat menemukan telur asin ini. Belum pernah saya menemukan telur asin dijual di toko asia yang biasa saya datangi. Sewaktu saya ke chinatown di Antwerp pernah saya lihat ada telur asin, tapi kok rasanya kurang sreg buat beli. Mungkin karena selain harganya yang mahal saya juga nggak terlalu yakin dengan kualitas rasanya. Akhirnya saya mengurung kan niat buat beli, dan terpaksa menahan rasa kepingin.

Sampai suatu hari sewaktu blogwalking saya menemukan beberapa resep cara membuat telur asin rumahan. Cara yang digunakan sangat sederhana karena tidak perlu proses memeram telur dalam pasta batu bata. Saya pun tertarik buat mencoba. Meskipun waktu itu belum berhasil menemukan telur bebek (karena nggak ada yang jual di sini) saya tetap mencoba bikin menggunakan telur ayam. Percobaan pertama berhasil, meskipun agak keasinan tapi kekangenan saya buat makan telur asin pun terobati. Selanjutnya saya bikin lagi beberapa kali dan selalu berhasil. Dari segi rasa sih memang tetap beda dengan telur asin yang ada di Indonesia. Mungkin karena pada dasarnya telur ayam dan telur bebek berbeda tekstur sehingga menghasilkan rasa yang berbeda pula. Membuat telur asin dari telur ayam ini pun kemudian menjadi agenda rutin saya. Sekali bikin biasanya saya pakai antara 15-20 butir telur. Ya karena bikinnya mudah dan proses menunggunya yang lama jadi saya pikir kenapa nggak bikin banyak sekalian. Toh selain bisa dikonsumsi sebagai lauk ketika sudah matang, telur asin yang mentah pun bisa juga diolah menjadi berbagai masakan. Tapi meskipun sudah puas dengan telur asin dari telur ayam ini, saya masih menyimpan rasa penasaran dengan telur asin dari telur bebek.

Saya pun berusaha mencari tahu di mana saya bisa beli telur bebek. Suami juga sempat bertanya-tanya ke tetangga siapa tahu saja bisa dapat info. Tetapi hasilnya nihil, di sini memang telur bebek tidak banyak dijual di pasaran. Kalaupun ada yang jual mungkin harus beli ke peternak nya langsung, dan masalahnya adalah kami tidak tahu di mana bisa menemukan peternak bebek di daerah sini. Akhirnya saya hanya bisa memendam keinginan buat bikin telur asin dari telur bebek, sampai suatu hari saya bertemu dengan seseorang yang memelihara bebek. Jadi ceritanya sewaktu saya ambil kursus bahasa Perancis di universitas Limoges, saya berkenalan dengan seorang wanita Belanda yang juga mengikuti kursus yang sama. Nah, beliau ini tinggal tidak jauh dari rumah saya sehingga kami memutuskan untuk pergi bersama menggunakan mobilnya dan biaya bbm dibagi 2. Sepanjang perjalanan sudah bisa ditebak kami ngobrol banyak, mulai dari masalah susahnya belajar bahasa Perancis sampai kehidupan sehari-hari. Dari situlah saya tahu bahwa beliau ini memelihara ayam dan bebek di rumahnya. Langsung deh saya tanya boleh nggak kalau saya beli telur bebeknya dan saya jelaskan betapa susahnya mencari telur bebek di sini. Tanpa disangka hari berikutnya kami pergi ke Limoges, beliau sudah membawa satu boks penuh telur bebek yang isinya sekitar 20 butir. Sewaktu saya tanya berapa saya harus bayar, beliau dengan keras menolak. Katanya dia lagi surplus telur bebek dan kebetulan saya butuh, jadi telurnya dikasih buat saya cuma-cuma. Namanya juga rejeki, saya pun hanya bisa bilang terima kasih banyak 🙂

Dari situlah akhirnya saya bisa menuntaskan rasa ingin tahu tentang telur asin rumahan dari telur bebek. Berbekal pengalaman bikin telur asin sebelumnya saya pun langsung mengeksekusi telur-telur bebek tersebut sebelum libur natal kemarin. Jadi begitu kami pulang dari liburan langsung bisa menikmati telur asin.

Bahan-bahan untuk membuat telur asin.

Oh iya, saya bagi cara membuatnya di sini siapa tahu ada yang berminat buat bikin juga. Tapi saya tidak bisa cantumkan sumbernya karena dari beberapa resep yang saya temukan, saya gabungkan dan modifikasi sesuai selera saya. Plus resep ini nggak pakai takaran pasti ya karena kalau bikin saya selalu berdasar feeling saja, jadi dikira-kira sesuai kebutuhan 😀

Bahan-bahan yang dibutuhkan:

Telur (bebek atau ayam)

Garam

Bawang Putih

Jahe

Siap diperam selama 3 minggu.

Siap diperam selama 3 minggu.

Caranya gampang banget, didihkan air agak banyak (dikira-kira ya, pokoknya disesuaikan dengan jumlah telur) kemudian matikan api.  Setelah itu masukkan garam sambil diaduk-aduk sampai  garam sudah tidak bisa lagi larut. Tunggu sampai larutan garam dingin. Sementara itu cuci bersih telur dengan air, gosok-gosok menggunakan sisi spons yang agak kasar supaya pori-pori cangkang terlur tebuka (hati-hati ya, jangan terlalu keras menggosoknya supaya telur tidak pecah). Masukkan telur ke dalam toples kaca atau boks plastik, kemudian tuangkan larutan air garam yang sudah dingin. Geprek beberapa siung bawang putih dan seruas jahe kemudian tutup rapat. Simpan di tempat sejuk selama kurang lebih tiga minggu. Tulis tanggal di luar toples supaya mudah diingat. Sesekali aduk telur di dalam toples supaya telur berpindah posisi dan asinnya merata. Setelah 3 minggu, keluarkan telur dari toples dan kukus selama 1,5 jam. Tunggu sampai dingin, telur asin pun siap dinikmati.

Beneran deh, ternyata memang beda rasanya antara telur asin dari telur ayam dengan telur bebek. Yang dari telur bebek rasa gurihnya lebih kuat dan kuning telurnya juga lebih besar jadi lebih mantap. Saya waktu itu bikin 15 butir karena telur bebek yang 5 lagi saya pakai buat bikin martabak telur. Sekarang telur asin saya sudah habis buat lauk dan campuran masakan lain. Kepengen bikin lagi tapi harus nunggu stok telur bebek dari madame Belanda. Cuma bisa berdoa nih semoga bebek-bebek beliau lagi pada produktif sehingga surplus dan saya bisa kebagian telurnya hehehe…

Kado Tahun Baru

Mumpung masih bulan januari, masih boleh ya cerita yang berbau tahun baruan 😀 Sebenarnya saya sih nggak pernah merayakan tahun baru, apalagi sampai harus ada kado-kadoan segala. Sejak dulu tahun baruan saya paling banter ya di rumah aja sambil liat tivi atau sekedar ngobrol sama keluarga. Pernah sih keluar sekali buat tahun baruan waktu jaman kuliah dulu, tapi langsung kapok karena terlalu ramai. Akhirnya tahun baru ya jadinya sama saja dengan hari-hari lain, tidak ada yang spesial.

Tapi tahun 2015 ini, adalah tahun baru yang spesial buat saya. Meskipun tetap bertahun baruan tanpa ada perayaan apa-apa seperti biasanya, saya dapat kado yang luar biasa bikin hati gembira. Yang spesial lagi kadonya juga bukan dari orang lain, tapi dari diri saya sendiri ! Hihihi bikin bingung ya ?! Well, awal tahun 2015 akhirnya cita-cita saya terwujud, saya berhasil mendapatkan SIM Perancis, yeyyyy ! Kalau kesannya saya lebay banget ada alasannya lho…. Maklum proses bikin SIM ini sudah saya lakonin sejak sekitar 1,5 tahun yang lalu. Berat banget perjalanannya dan sempat pula saya dihinggapi rasa putus asa. Belum lagi harganya yang mahal sempat bikin saya merasa terbebani kalau nggak lulus-lulus ujian. Tapi memang ya segala sesuatu ada waktunya, semua butuh proses seperti kata bijak dalam bahasa perancis : « chaque chose en son temps, un temps pour chaque chose ». Waktu 1,5 tahun memang lama, tapi melihat ke belakang saya sangat bersyukur karena akhirnya berhasil juga.

Dulu saya pernah menulis di blog ini ketika awal saya masuk sekolah menyetir atau di sini disebut auto-école (AE). Saat itu saya sempat menargetkan bahwa dalam waktu kurang dari 10 bulan saya sudah bisa mengantongi SIM Perancis. Memang ya namanya juga berusaha, ada yang langsung bisa kena sasaran ada juga yang harus pake meleset, dan saya adalah salah satu contoh kasus yang meleset. Waktu itu memang saya belum punya gambaran yang jelas tentang bagaimana proses mendapatkan SIM di sini. Saya sih waktu itu optimis saja bahwa saya bisa cepat dapat asal saya berusaha keras. Tapi pada kenyataannya banyak hambatan yang harus saya hadapi dalam setiap tahapannya.

Hambatan yang paling utama tentu saja masalah bahasa. Kemampuan bahasa perancis saya masih sangat cethek, apalagi yang berhubungan dengan istilah teknik kendaraan dan rambu-rambu lalu lintas. Saya harus berusaha ekstra keras dengan belajar latihan soal lewat internet supaya bisa memahami semuanya dengan baik. Untuk mendapatkan SIM ada 2 tahapan ujian yang harus dilalui : ujian teori dan ujian praktik. Untuk ujian teori code de la route peserta ujian harus menjawab 40 pertanyaan tentang rambu-rambu lalu lintas dan segala macam peraturan yang berhubungan dengan keselamatan berkendara di jalan. Untuk lulus ujian ini, peserta harus menjawab dengan benar minimal 35 soal. Saat itu saya harus mengulang sekali untuk ujian teori ini karena pada ujian yang pertama saya hanya menjawab dengan benar 34 soal. Sempat nyesel banget sih waktu itu karena di dalam ruang ujian saya sempat sadar bahwa ada 1 soal yang saya salah jawab tapi tidak mungkin saya koreksi karena saya sudah terlajur memvalidasi jawaban saya. Oh iya, di sini sistem ujiannya bukan ujian tertulis tapi menggunakan semacam remote untuk menjawab soal. Jadi begitu soal ditayangkan di layar proyektor, kami harus memencet jawaban yang benar dari beberapa pilihan jawaban yang disediakan, kemudian memvalidasinya menggunakan tombol yang ada di remote tersebut. Kalau kita lupa memvalidasi otomatis dianggap kita tidak menjawab soal dan kehilangan 1 poin. Untungnya saya berhasil di ujian yang kedua, meskipun harus menunggu sekitar sebulan sebelum mendapatkan kesempatan untuk ikut ujian lagi.

Beres dengan ujian teori, saatnya saya mulai praktik menyetir. Awalnya saya benar-benar grogi. Bagaimana tidak kalo itu adalah pertama kalinya saya pegang setir mobil. Di Indonesia dulu saya kemana-mana pakai motor kesayangan saya dan memang nggak pernah belajar setir mobil. Bisa dibayangkan betapa kakunya saya, stress dan gugup takut kalau nabrak atau nyetir kecepetan, dsb. Apalagi di sini praktik nyetir meskipun untuk yang pertama kali dilakukan langsung di jalan. Meskipun guru nyetir saya ngajarinnya bukan di jalan raya yang besar tetap saya saya was-was. Untuk bisa mengikuti ujian praktik SIM, seseorang harus sudah melalui minimal 20 jam praktik menyetir. Untuk yang belum terlalu mahir, 20 jam ini bisa ditambah yang tentu saja berarti tambah biaya juga. Untungnya di sini ada sebuah sistem yang sangat membantu memperlancar kemampuan menyetir yang disebut l’apprentissage anticipé de la conduite  (AAC)  atau disebut juga conduite accompagnée. Jadi dengan sistem ini murid sekolah menyetir diijinkan untuk menyetir mobil pribadi asal didampingi oleh seseorang yang sudah memiliki SIM minimal 5 tahun. Persyaratannya pun cukup mudah karena biasanya sudah diurus oleh AE masing-masing. Saya pun juga menggunakan sistem ini. Setelah mengurus administrasi untuk asuransi, saya pun sudah bisa menyetir sendiri didampingi suami saya. Buat saya terasa banget manfaat dari sistem AAC ini, karena saya jadi lebih terbiasa untuk menyetir di jalan umum. Meskipun kadang masih juga grogi tapi saya merasakan perkembangan dalam kemampuan menyetir saya. Selain memperlancar kemampuan menyetir, sistem AAC ini juga menguntungkan dari segi ekonomi, pasalnya kita tidak harus terpaku dengan jadwal latihan menyetir dari AE yang berarti juga mengurangi biaya yang kita keluarkan untuk membayar guru AE. Maklum biaya per jam nya lumayan mahal yaitu 35€, dan di daerah lain bisa lebih mahal lagi. Oh iya dengan sistem AAC ini saya hanya boleh menyetir di wilayah Perancis saja dan di bagian kaca belakang mobil harus ditempel stiker AAC.

Stiker AAC. Gambar diambil dari wikipedia.

Setelah beberapa bulan menjalani sistem AAC bersama suami saya pun merasa siap untuk mengikuti ujian praktik. Kami pun meminta jadwal ujian ke AE. Sayangnya kami tidak langsung dapat karena banyaknya antrian peserta ujian praktik. Mungkin karena waktu itu musim panas di mana anak-anak sekolah sudah mulai liburan dan mereka yang sudah cukup umur biasanya juga berbondong-bondong mengikuti ujian SIM. Setelah menunggu cukup lama, enam bulan sejak saya memulai AAC, saya pun mendapatkan jadwal ujian. Saya ingat waktu itu bulan november dan cuaca sudah mulai agak dingin. Meskipun saya sudah pede sewaktu praktik menyetir dengan suami, begitu dihadapkan pada ujian saya langsung gugup setengah mati. Entahlah, dada berdebar kencang dan tangan berkeringat dingin. Saya sempat praktik menyetir selama setengah jam dengan guru AE untuk menyesuaikan dengan mobil yang akan digunakan untuk ujian. Semua berjalan lancar, dan saya pun mulai bisa tenang dan optimis kalau saya bisa. Waktu ujian pun tiba, penguji saya adalah seorang perempuan yang sebenarnya cukup ramah. Sebelum berangkat ia mengecek kartu identitas saya dan menjelaskan tentang bagaimana ujian akan dilakukan. Dan ujian pun dimulai. Awalnya saya cukup tenang karena jalan yang kami lalui adalah jalan yang saya kenal. Tapi begitu memasuki tengah kota, sang penguji menyuruh saya belok kanan ke jalan yang saya sama sekali tidak kenal. Dari situlah semua bermula, saya langsung stress tingkat dewa, gugup luar biasa sampai-sampai ibu penguji ini harus menegur saya beberapa kali karena dianggap tidak menyetir dengan benar. Saya pun semakin stres karena ditegur. Luluh sudah rasa percaya diri saya, dan meskipun pertanyaan teknik bisa saya jawab dengan benar, saya tidak lulus ujian karena ada kesalahan fatal yang saya lakukan yang membuat nilai saya gugur atau éliminatoire. Parahnya untuk tahu apakah saya lulus atau tidak saya harus menunggu 2 hari karena hasilnya tidak saya dapatkan hari itu juga tetapi dikirim ke rumah lewat pos. Saya pun pasrah, sedih dan hampir putus asa…

Untuk mendapatkan jadwal ujian berikutnya saya pun harus menunggu lagi. Kali ini juga cukup lama karena bertepatan dengan libur natal dan tahun baru. Saya sih hanya berharap supaya ketika akhirnya saya bisa ikut ujian lagi cuaca bisa cukup bersahabat. Maklum bulan januari cuaca sudah semakin dingin dan di beberapa tempat bahkan turun salju. Setelah 2 bulan, akhirnya saya bisa ikut ujian lagi. Kali ini saya lebih rileks, suami juga meyakinkan kalaupun harus mengulang lagi ya tidak apa-apa. Toh orang-orang perancis juga rata-rata harus mengulang beberapa kali sebelum lulus ujian SIM. Hari itu, tanggal 13 januari 2015, sepertinya memang hari keberuntungan saya. Meskipun pengujinya sama dengan yang menguji saya sebelumnya, kali ini semuanya berjalan sangat lancar. Terlepas dari udara yang sangat dingin, hari itu cuaca cerah bahkan matahari bersinar terik jadi saya tidak perlu khawatir akan jalanan yang licin atau salju. Rute yang diambil pun juga sudah saya kenal dengan baik, sehingga saya tidak ada masalah sama sekali. Semua pertanyaan bisa saya jawab dengan baik, dan ibu penguji juga malah keasyikan ngobrol dengan guru AE sehingga sempat kelupaan buat nyuruh saya bikin manuver parkir 😀 Leganya saya semua berjalan dengan lancar. Bahkan guru AE saya juga sempat menelpon saya setelah ujian dan bilang bahwa saya menyetir dengan sangat baik sewaktu ujian. Dia sangat yakin kalau saya bakalan dapat SIM, dan saya bilang kita tunggu saja hasilnya dalam 2 hari. Maklum ya, sempat gagal ujian sebelumnya bikin saya waspada supaya siap dengan apapun hasilnya. Dan benar saja begitu surat pemberitahuan hasil ujian praktik saya sampai di rumah, saya langsung melompat kegirangan. Tidak saja saya lulus ujian, tetapi poin yang saya dapat pun sangat memuaskan. Dari total 31 poin, saya mendapatkan 28 poin. Syarat kelulusan ujian SIM tipe B ini adalah 20 poin tanpa ada nilai E (éliminatoire). Kini saya sudah bisa menyetir sendirian berbekal surat kelulusan ujian serta kartu identitas perancis saya.Untuk SIM permanennya masih dalam proses, dan saya harus menunggu kurang lebih empat bulan lagi untuk mendapatkannya. Oh iya, stiker di kaca belakang mobil saya juga harus diganti dengan lambang huruf “A” yang menandakan bahwa saya adalah pengemudi pemula.

Stiker pengemudi pemula, bisa ditempel di kaca belakang atau di bodi belakang mobil. Gambar diambil dari wikipedia.

Akhirnya, bisa bernafas lega dan tersenyum lebar. Jujur saya memang sempat khawatir tentang SIM ini, bahkan sempat enggan buat praktik menyetir dengan suami karena merasa down dan takut harus mengulang dan mengulang lagi ujian praktiknya. Selain bakalan lebih mahal, tentu saja pede saya bisa terkikis habis kalau harus gagal lagi. Belum lagi kesempatan buat cari kerja juga bakalan lebih susah kalau belum juga punya SIM. Maklum saja seperti yang sering saya bilang saya tinggal di desa yang nggak ada sarana transportasi umum, jadi buat bisa kemana-mana ya harus punya SIM. Dan benar saja begitu saya lulus ujian dan boleh nyetir sendiri saya merasa tenang. Rasanya saya mendapatkan kebebasan seperti sewaktu saya masih di Indonesia, bisa kemana-mana sendiri tanpa harus nungguin buat diantar suami. Belum lagi kini saya bisa mencantumkan di CV kalau saya sudah memiliki SIM.

So, tahun 2015 saya awali dengan kado menyenangkan untuk diri saya sendiri, yipppiiieee!!! 😀

Nasi Kuning Praktis

IMG_5968

Wah, nggak terasa ya sudah dua bulan lebih saya nggak update blog. Biasa deh alasannya karena si empunya blog ini lagi kumat penyakit sok sibuknya hehehe… Tapi memang dua bulan kemarin tuh ada aja yang harus saya lakukan. Dari ada acara keluarga di luar kota, trus keluarga suami juga ada yang bergantian nginep di sini sama ikut nemenin suami pameran di luar kota selama seminggu. Udah gitu, sejak pertengahan September kemarin saya juga mulai ambil 1 semester kursus bahasa perancis di Universitas Limoges. Jadwal ke universitasnya sih cuma dua kali seminggu, tapi tetep capeknya bikin tepar karena waktunya yang seharian. Setiap selasa dan kamis saya harus sudah berangkat jam setengah delapan pagi dan sampai di rumah rata-rata antara jam 6-7 malam. Bisa dibayangin kan ya betapa capeknya, berangkat masih gelap pulangpun juga udah gelap. Mirip-mirip kalo kerja di Indo deh hihihi…

Tapi meskipun sekarang ada kegiatan baru saya tetep aja sering ngubek dapur. Masak-masak emang jalan terus karena kalo saya nggak masak mau makan apa ? Suami sih bisa dikit-dikit masak, tapi ya tetep aja selera lidah saya yang Indonesia banget ini maunya sebisa mungkin ya masakan Indonesia. Saya juga selalu bawa bekal makan siang buat di universitas, jadi harus putar otak lebih keras lagi buat nyari ide mau bawa bekal apa. Biasanya sih saya masak buat makan malam agak banyakan supaya bisa cukup buat bekal saya keesokan harinya. Untungnya suami saya bukan yang tipe rewel soal makanan, jadi kalau yang saya masak nggak cukup buat sekalian makan siang dia, maka dia akan dengan senang hati bikin makan siang yang simple atau ngorek-ngorek di dasar freezer nyari sisa masakan yang bisa dipanasin. Emang beruntung banget ya saya punya suami tipe begini 🙂

IMG_5985

Nah, salah satu menu yang saya bawa buat bekal minggu ini adalah nasi kuning. Kalau dibayangin kayaknya ribet ya buat nyiapin bekal nasi kuning, mulai dari bikin nasinya yang harus diaron pakai santan sampai bikin pernak-pernik lauknya. Saya dulu juga mikir begitu, tapi setelah kemarin ini nyobain buat bikin nasi kuning pake rice-cooker saya jadi pede mau bikin lagi bekal nasi kuning buat lain kali. Dulu, saya selalu pakai kukusan kalo masak nasi kuning, trus sempat juga nasinya dicambur beras ketan waktu mau bikin tumpeng. Jenis lauk pun juga saya bikin lengkap waktu itu, dan semuanya benar-benar butuh banyak waktu. Pokoknya dulu kalau kepengen makan nasi kuning saya harus siap-siap buat berkutat berjam-jam deh di dapur. Begitu masakan selesai juga nggak bisa langsung santai makan karena setumpuk perabotan masak yang kotor sudah menunggu buat dibersihkan 😀

Nah, awal minggu kemarin nggak tahu kenapa saya kok rasanya kepingin banget makan nasi kuning. Sudah lama juga sih saya nggak makan nasi kuning,terakhir yang saya ingat ya bulan Juli tahun kemarin sewaktu saya bikin tumpeng abal-abal buat dinner bareng dengan tetangga di sini. Saking kepinginnya saya sampai kebayang-bayang rasanya di ujung lidah. Daripada ganggu konsentrasi kalau kepikiran terus saya pun nekat mau bikin nasi kuning buat dinner sekalian buat bekal makan siang besokannya. Sebelum ngetem di dapur, saya pun menyempatkan buat browsing dulu nyari resep nasi kuning yang paling praktis, setelah ketemu saya pun langsung masak.

Dari beberapa resep yang saya temukan di internet semuanya rata-rata menggunakan santan untuk bikin nasi kuning. Baik santan segar, santan kemasan maupun bubuk santan yang diencerkan. Saya yang lagi malas buka kaleng santan (sayang juga sih karena kan belinya musti ke toko asia di kota yang jauhnya sejam perjalanan) akhirnya punya ide nekat pakai susu buat menggantikan santan. Saya pikir sih malah lebih sehat ya kalau pake susu, masalah rasa dilihat nanti aja deh semoga aja nggak terlalu jauh menyimpang dari nasi kuning yang biasa saya makan. Buat teman nasi kuning saya cuma bikin kering kentang (di daerah asal saya Solo biasa disebut klengkam), telur dadar iris, abon (yang ini nggak bikin karena masih punya stok hasil mudik tahun kemarin :D) dan irisan timun. Sederhana banget ya ? Tapi ampuh kok buat ngobatin rasa kepingin saya. Suami pun juga suka banget sampai nambah-nambah hehehe…

Untuk resepnya nggak saya cantumin sumbernya karena pas praktek masaknya beberapa ide resep saya gabungin kemudian saya modifikasi sesuai selera. Maklum, saya lagi bandel waktu itu jadi nggak patuh sama satu resep tertentu saja 😀

Nasi Kuning Praktis

Bahan:

500 gr beras

200 ml susu cair

800 ml air

1 sdt kunyit bubuk (atau sesuai selera)

1 lbr daun salam

1 lbr daun pandan

3 lbr daun jeruk

Bubuk santan secukupnya

Garam secukupnya

Cara membuat:

Cuci bersih beras, tiriskan.

Didihkan air bersama dengan kunyit bubuk, daun salam, daun pandan dan garam.

Campur air kunyit dengan susu dan bubuk santan.

Masukkan beras dan campuran air kunyit dan santan ke dalam rice cooker, aduk sampai rata kemudian nyalakan rice cooker.

Masak sampai matang.

Penghuni Baru

Dua minggu belakangan ini saya lumayan repot di rumah, seperti judul postingan kali ini saya harus mengurusi 2 penghuni baru di rumah kami. Bukan saudara atau teman sih yang jadi penghuni baru di sini tapi 2 ekor anak kucing yang tiba-tiba muncul di depan rumah 2 minggu yang lalu. Jadi ceritanya sabtu malam 2 minggu yang lalu, sekitar hampir tengah malam saya sedang di dapur menyiapkan makanan buat suami yang baru pulang lembur kerja. Sayup-sayup saya dengan ada suara kucing mengeong di luar. Saya sih yakin itu bukan suara kucing-kucing kami Mini dan Bailey karena selain saya hapal suara mereka, biasanya juga mereka cuma duduk di depan jendela aja kalau minta dibukakan jendela buat masuk ke rumah. Karena penasaran saya pun keluar dan mengecek, begitu pintu saya buka saya lihat dua ekor anak kucing yang masih kecil-kecil berlari mendekat. Mereka basah dan kotor. Yang satu terlihat takut dan menjaga jarak sementara yang satunya lagi langsung mendekat sambil masih tetap mengeong. Saya pun segera memberi mereka makanan dan susu kambing, kelihatan banget kalau mereka kelaparan. Suami saya yang tadinya hendak makan, jadi ikutan repot mengurusi kedua kucing tersebut. Karena sudah larut malam dan di luar masih gerimis, kamipun memutuskan untuk merawat mereka sampai esok hari. Rencananya suami saya akan telpon ke tempat penampungan hewan untuk supaya mereka bisa tinggal di sana sampai ada yang mengadopsi.

Keesokan harinya, setelah telpon sana sini suami saya pun menyerah. Ternyata semua tempat penampungan hewan sudah penuh. Suami saya juga berusaha untuk menelpon beberapa tetangga yang kemungkinan bisa membantu mencari orang yang mau mengadopsi anak-anak kucing tersebut tetapi hasilnya juga nihil. Sebenarnya sih saya nggak keberatan sama sekali buat merawat anak-anak kucing tersebut, saya pada pada dasarnya memang pecinta kucing apalagi melihat anak-anak kucing yang lucu saya pasti langsung luluh. Tapi memiliki hewan peliharaan di sini harus dipikirkan dengan baik-baik sebelumnya. Selain harus mengeluarkan biaya untuk makanan kucing, kami juga harus siap mengeluarkan biaya tambahan untuk sterilisasi dan vaksin. Biaya dokter hewan juga tidak murah, sementara kami sudah punya 2 ekor kucing dewasa. Belum lagi proses adaptasi antara kucing-kucing dewasa dengan anak-anak kucing ini pasti tidak mudah, karena berdasarkan pengalaman sebelumnya butuh waktu lama sebelum Mini bisa menerima kehadiran Bailey, itupun juga tidak sepenuhnya karena setelah lebih dari setahun Mini tetap saja tidak mau berdekatan dengan Bailey meskipun mereka sudah bisa tidur di ruangan yang sama.

Akhirnya, dengan berat hati kamipun memutuskan untuk merawat anak-anak kucing tersebut. Bukan karena tidak suka tapi berdasar pertimbangan bahwa kami sudah punya 2 kucing dewasa. Jujur saja buat kami 2 ekor kucing dalam 1 rumah sudah lebih dari cukup, tapi kalau harus membuang 2 ekor anak kucing yang kami temukan tersebut juga tidak mungkin. Mereka masih sangat kecil-kecil, umurnya mungkin baru 6 atau 8 minggu waktu kami temukan. Sebenarnya aneh juga bahwa mereka bisa sampai di depan rumah kami waktu itu. Pertama-tama rumah kami cukup jauh dari rumah-rumah lain, bahkan bisa dibilang agak terpencil karena dekat dengan hutan, kedua kalau mereka adalah kucing liar pasti mereka akan lari melihat kami tapi sepertinya mereka sudah cukup terbiasa dengan keberadaan manusia sehingga kami curiga bahwa anak-anak kucing tersebut sengaja dibuang oleh seseorang di dekat rumah kami supaya kami temukan. Memang sih saya dengar juga lumayan banyak kasus seperti ini terjadi di daerah sini. Si pemilik kucing malas mensterilkan kucingnya kemudian beranak pinak tapi tidak mau merawat anak-anak kucingnya sehingga dibuang begitu saja. Kalau dipikir-pikir orang-orang seperti itu membuat susah juga bagi orang yang menemukan anak-anak kucing tersebut, karena dengan tidak adanya tempat di tempat penampungan hewan maka orang yang menemukan jadi tidak punya pilihan lain selain merawat mereka. Syukur-syukur kalau nantinya bisa menemukan orang yang mau mengadopsi mereka, kalau tidak ya harus diadopsi sendiri nantinya.

Seperti yang sudah saya duga, kami harus hati-hati dalam proses penyesuaian antara kucing lama dan kucing baru. Mini, kucing kami yang paling senior sama sekali tidak mau dekat-dekat dengan kedua anak kucing tersebut. Bahkan beberapa malam pertama dia tidak mau tidur di dalam rumah dan memilih tidur di gudang depan rumah kami. Sementara Bailey awalnya juga menolak, tapi setelah semingguan lebih ia pun mulai santai. Kalau awalnya saya harus buka tutup pintu supaya Bailey tidak seruangan dengan anak-anak kucing tersebut, sekarang mereka sudah bisa tidur di satu ruangan. Bahkan mereka sudah bisa bermain bersama, bahkan Bailey mengajari mereka buat memanjat pohon apel di belakang rumah! 😀 Tapi tetep sih, kalau mereka bermain bersama harus diawasi karena Bailey jauh lebih besar, kadang-kadang harus dipisah karena anak-anak kucing itu jadi kewalahan kalau pas Bailey terlalu bersemangat. Seru juga sih melihat mereka bermain-main, Bailey jadi seperti anak kucing lagi dan tingkah polah mereka lucu-lucu. Lumayan buat hiburan kalau pas lagi bosen hehehe…

Kittens

Meet Willow and Austin 🙂

Kupat Tahu Solo

Dulu, sewaktu masih tinggal di Indonesia saya suka banget makanan yang bercita rasa creamy. Makanan yang ada tambahan kejunya pasti jadi favorit saya, mulai dari pizza, berbagai jenis pasta sampai steak dengan saus krim. Kalau makan di luar pun biasanya saya juga pilih yang model western food. Tapi entah mengapa sejak pindah dan menetap di Perancis selera saya mulai bergeser ke makanan khas Indonesia. Dapur saya nggak pernah sepi dari yang namanya masak nasi, bikin gorengan atau masak sayur berkuah santan. Bisa dibilang hampir tiap hari saya masak nasi dan bikin sayur. Pokoknya dapur adalah bagian rumah yang paling saya kuasai, suami hanya boleh ngutak-atik dapur kalau pas weekend di mana biasanya dia bikin pancake atau masakan yang lain 😀 Untung saja suami nggak pernah protes, dia selalu melahap apa saja yang saya masak. Heran juga sih saya karena perutnya nggak pernah bermasalah dengan sambal, masakan bersantan dan gorengan. Saya malah sempat mikir jangan-jangan suami saya ini bule gadungan, bule Ccuma kemasannya doang tapi isinya perutnya made in Indonesia hahaha…

Karena suami selalu nrimo apa saja masakan yang tersaji di meja makan, saya pun jadi keenakan kalau bikin menu makan harian. Seperti kemarin itu, pas lagi blogwalking saya nemu resep kupat tahu yang kelihatannya simple banget, langsung deh jadi kepingin bikin. Jadi inget, dulu biasanya bapak suka beliin kupat tahu ini buat sarapan di rumah, dan saya nggak ingat kapan terakhir kali makan kupat tahu di Solo. Jadi, saatnya beraksi ngubrek dapur nyiapin pernak-pernik kupat tahu yang lumayan banyak.

Untuk kupatnya saya nggak bikin ketupat beneran soalnya belum pernah nemu daun kelapa buat bikin sarang ketupatnya. Alih-alih saya niru trik praktis yang saya temukan yaitu beras dimasak di rice cooker sampai lembek kemudian dicetak di loyang roti yang sudah dilapisi plastik tebal. Setelah diangin-anginkan dan masuk kulkas, siap deh dipotong-potong untuk disajikan. Untuk perlengkapan lainnya, lumayan gampang karena hanya merebus mie telor, goreng kacang tanah, bikin bakwan, goreng tahu, rebus kecambah sebentar, iris kubis dan seledri. Setelah semua beres, tinggal bikin kuah kecapnya yang ternyata juga gampang banget. Pokoknya kupat tahu ini gampang bikinnya, tapi persiapannya yang memang agak lama karena banyak yang harus digoreng terlebih dahulu. Setelah semua siap saya tinggal potong-potong dan susun di piring, setelah diguyur kuah kecap dan ditaburi bawang goreng, kupat tahu pun siap disantap buat makan siang. Untuk resepnya bisa buka di sini ya 🙂

IMG_5552

Kupat tahu mantappp 😀